Rabu, 17 Oktober 2012

Asal muasal hukum Indonesia

Asal muasal hukum Indonesia Pada 1800, Napoleon I menunjuk sebuah komisi yang terdiri dari empat orang untuk melakukan tugas mengkompilasi The Napoleonic Code (Kode Napoleon). Upaya mereka, bersama dengan orang-orang dari JJ Cambacérès, berperan dalam penyusunan draft akhir. Kode Napoleon yang berasimilasi sebagai hukum privat Prancis, yang merupakan hukum yang mengatur transaksi-transaksi dan hubungan-hubungan antara individu. Hukum, yang dianggap oleh beberapa ahli sebagai bentuk modern pertama untuk hukum Romawi, saat ini berlaku di Prancis dalam bentuk yang telah disesuaikan... Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.[5] dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. 2. Prinsip hukum Prinsip merupakan petunjuk arah layaknya kompas. Sebagai petunjuk arah, kita bisa berpegangan pada prinsip - prinsip yang telah disusun dalam menjalani hidup tanpa harus kebingunan arah karena prinsip bisa memberikan arah dan tjuan yang jelas pada setiap kehidupan kita. Seorang leader atau pemimpin yang baik adalah seorang pemimpin yang berprinsip. Karena seorang pemimpin yang berprinsip pasti akan terarah dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin. Ada berbagai pendapat mengenai prinsip-prinsip umum hukum yang dimaksud. Beberapa penulis menganggap hal itu sebagai suatu afirmasi konsep-konsep Hukum Alam, yang dianggap mendasari sistem hukum internasional dan merupakan metode untuk menguji validitas positif sebuah aturan. Penulis lain, terutama penganut paham positivisme, memperlakukannya sebagai sub-judul di bawah perjanjian dan hukum adat dan tidak mampu menambahkan sesuatu yang baru untuk hukum internasional kecuali mencerminkan persetujuan negara. Penulis dari Soviet, Tunkin, memilih pendekatan ini, yang menganggap prinsip-prinsip hukum umum sebagai pengulangan ajaran fundamental hukum internasional, misalnya, hukum hidup berdampingan secara damai, yang telah ditetapkan dalam perjanjian dan hukum adat. Prinsip-prinsip Kontrak Internasional UNIDROIT : 1. Prinsip kebebasan berkontrak Prinsip pertama, kebebasan berkontrak, termuat dalam Pasal 1.1 Prinsip UNIDROIT. Pasal ini menegaskan adalah kebebasan para pihak untuk membuat kontrak, termasuk kebebasan untuk menentukan apa yang mereka sepakati. Pasal ini menyatakan: “ The parties are free ti enter into a contract and to determine its contennt.” 10) Prinsip kebebasan diwujudkan dalam 5 (lima) bentuk prinsip hukum, yaitu: 1) Kebebasan menentukan isi kontrak; 2) Kebebasan menentukan bentuk kontrak; 3) Kontrak mengikat sebagai undang-undang; 4) Aturan memaksa (mandatory rules) sebagai pengecualian; 5) Sifat internasional dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT yang harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak.11) 2. Prinsip pengakuan hukum terhadap kebiasaan dagang Prinsip kedua, prinsip kekuatan mengikat praktek kebiasaan dagang, merupakan prinsip yang disebut pula sebagai keterbukaan terhadap kebiasaan dagang. Pengakuan terhadap praktek kebiasaan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kebiasaan dagang bukan saja secara fakta mengikat tetapi juga karena ia berkembang dari waktu ke waktu. Prinsip ini termuat dalam Pasal 1.8 prinsip UNIDROIT. Menurut pasal ini, para pihak tidak saja oleh kebiasaan dagang yang telah berlaku diantara mereka dan kebiasaan dagang yang mereka sepakati, tetapi juga oleh “a usage which they have widely known to and regularly observed in international trade by parties in the particular trade concerned, exept where the application of such a usage would be unreasonable.”12) 3. Prinsip itikad baik (good faith) dan transaksi jujur (fair dealing) Terdapat tiga unsur dari prinsip itikad baik dan transaksi jujur, yaitu: a) Itikad baik dan transaksi jujur sebagai prinsip dasar yang melandasi kontrak; b) Prinsip itikad baik dan transaksi jujur dalam UPICCs ditekankan pada praktik perdagangan internnasional; c) Prinsip itikad baik dan transaksi jujur bersifat memaksa.13) Itikad baik, adalah prinsip yang sebenarnya mencerminkan warna hukum Eropa dari UNIDROIT. Prinsip ini termuat dalam Pasal 1.7 yang menyatakan: “(e)ach party must act in accordance with good faith and fair deal-ing in international trade.” Tujuan utama prinsip ini sebagaimana yang dicitakan oleh UNIDROIT adalah tercapainya suatu keadaan yang adil dalam transaksi-transaksi dagang internasional.14) 4. Prinsip force majeure Prinsip penting Force Majeure atau keadaan memaksa (juga kadang disebut keadaan kahar) termuat dalam Pasal 7.1.7 Prinsip UNIDROIT. Pasal ini berbunyi sebagai berikut: “(1) Non-performence by a party is execused if that party proves that the non-performance was due to an impediment beyond its control and that it could not reasonably be expected to have taken the impediament into account at the time of the conclusion of the contract or to have avoided or overcome it or its consequences. (2) When the impediment is only temporary, the execuse shall have effect for such period as is reasonable having regard to the effect of the impediment on the performance of the contract. (3) The party who fails to perform must give notice to the other party of the impediment and its effect on its ability to perform. If the notice is not received by the other party within a reasonable time after the party who fails to perform knew or ought to have known of the impediment, it is liable for damages resulting from such non-receipt. (4) Nothing in this article prevent a party from exercising a right to terminate the contract or to withhold performance or request interest on money due.” Bunyi pengaturan artikel tersebut adalah rumusan yang umum, termasuk dalam hukum nasional kita. Rumusan tersebut adalah; (1) Peristiwa yang menyebabkan force majeure merupakan peristiwa yang di luar kemampuannya; (2) Adanya peristiwa tersebut mewajibkan pihak yang mengalaminya untuk memberitahukan pihak lainnya mengenai telah terjadinya force majeure.15) Prinsip-prinsip Hukum Kontrak di Indonesia: 1. Prinsip konsensualisme (consensualism) Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.16) 2. Prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) Prinsip kebebasan berkontrak dalam hukum perdata terdapat dalam pasal 1338 yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap. 17) 3. Prinsip kepastian hukum (Facta sunt servanda) Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagao pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.18) 4. Itikad baik (good faith) Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.19) 5. Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer. Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPer, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPer untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPer mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPer memiliki ruang lingkup yang luas.20)

0 Comments:

Post a Comment



By :
Free Blog Templates